too tired for today
Haduh, capek sekali perasaan hari ini. Capek.
Yang saya jadi tempat pelampiasan. Sampai detik ini saya, dan selalu saya. Bukan secara fisik, sih, tapi psikis. Pikiran saya sedang banyak. Saya pun jujur bingung harus menanggapi apa.
Hati saya sendiri? Jangan tanya hari ini betapa berantakannya keping-kepingan hati saya hari ini. Keping pertama saya lupa dimana terakhir kali saya letak dimana. Keping kedua, ketiga, keempat, saya bahkan tak ingat ada berapa belah keping yang ada.
Kepala saya pusing. Bisa berhenti berbicara tidak?
Tolong bungkam mulut anda sebentar. Beri saya waktu untuk istirahat dengan pikiran saya yang turut berkecamuk pula.
Maaf, ya, catatan pertama nampaknya tidak terlalu menyenangkan.
Secara singkat, perkenalkan. Saya adalah anak tunggal yang tengah dititipkan dengan keluarga besar dari Ibu saya. Tidak ramai, sih, disini. Hanya ada sekitar 2 atau 3 orang disini.
Hari ini, saya sedang mendapat pelampiasan kembali. Seakan-akan truk sampah dari pikiran orang lain tengah mampir di truk sampah milik saya. Padahal, lihatlah, truk sampah milik saya sedang turut penuh isinya. Kelebihan kapasitas? Hampir, sepertinya.
Perasaan saya hari ini campur aduk. Maaf, lagi-lagi saya menulis dengan tidak karuan. Saya tidak pernah tahu mau cerita ini ke siapa dan bagaimana.
Kemana saya harus berlari?
Kemana saya harus pulang?
Saya mendekam dalam diri saya sendiri. Tanpa arah pulang. Tanpa tempat untuk singgah.
Hal pertama untuk hari ini yang membuat saya hampir menderita ialah, rasa rindu. Berat memang memikulnya setiap hari. Saat tertawa tetap kamu bawa ia, saat sedang asyik larut dalam tontonan favorit, saat sedang makan makanan kesukaan, atau bahkan saat ingin larut dalam bawah sadar. Ia kamu pikul setiap waktu. Dan itu semakin membuncah dari hari ke hari.
Dimana letak keadilan untuk saya? Kapan saya bisa melepasnya?
Hati yang penuh tanda tanya lagi berbeban ini selalu mengatakan itu. Selalu, untuk orang yang sama. Mau terbentang sejauh apapun jaraknya. Kapan perginya? Kapan hilangnya?
Lantas, aku yang dihantui pertanyaan itu tak tahu bagaimana cara menghilangkan guratan rindu yang semakin membekas.
Cuma bisa berdoa pada Yang Maha Kuasa, tolong jangan pernah sekalipun biarkan hal-hal jahat berada disisi dia. Selalu untaian kata-kata itu saya titip pada Tuhan. Tanpa ada rasa bosan dan lelah.
Hal kedua, saya tidak pernah mengerti dengan diri saya sendiri. Salah, saya tau ini adalah hal yang salah. Kenapa rasanya sakit sekali melihat hal itu? Oke, saya perjelas.
Notifikasi sosial media, milik akun sosial kawan saya. Beberapa jam yang lalu, diberitahu oleh teman saya yang lain.
"Wahh.. gue spesial dong ya :)"
Seharusnya saya senang. Karena saya yang mempertemukan kalian. Karena saya yang mencocokkan kalian, mendorong kalian agar terus bersama. Meski, sebelum dia kembali pada kegiatan sekolahnya, dia mengatakan dia akan merindukan saya.
Mungkin.. malah menyimpan perasaan?
Apa dia berhasil mengambil hati saya dengan perpisahan yang gantung itu?
Saya yang terlalu naif dan mudah larut dalam janji manis yang menggantung, atau memang sudah seharusnya begini?
Tentu tidak. Tentu tidak mungkin, wahai.
Saya sudah menyimpan hati ini untuk orang yang saya rindukan, seperti yang saya katakan di awal. Saya rasa ruang hati ini sudah penuh, tapi kenapa tiba-tiba ada dia didalam sini?
Mengetuk. Jangan, jangan masuk. Tempat ini sudah penuh.
Kamu disana saja, di tempat yang seharusnya. Jangan lebih, jangan pernah masuk area yang seharusnya dari awal tidak kamu masuki.
Seharusnya dia tidak coba-coba. Seharusnya kami hanya memiliki hubungan sahabat yang erat, dengan kepribadian yang sama dan kesukaan yang turut persis. Seharusnya cuma disana batas kita.
Dia duluan, bukan saya.
Rasanya saya tidak izinkan dia masuk lebih dari itu. Tapi kenapa kini malah saya yang mengizinkan? Tidak, saya tidak mengizinkan nya. Hanya membukakan pintu sedikit saja.
Mencoba mengintip dari dalam.
Ada yang ingin ia sampaikan hari itu, tapi ia urung mengatakannya pada saya. Tentang apa? Lantas kenapa?
Kacau balau. Ini faktor terbesar kenapa hati saya terbagi menjadi berbagai kepingan. Cemburu, bahasa kasarnya.
Bisa-bisanya saya cemburu dengan dia yang hanya teman saya? Dia pasti sedang mencoba untuk membuka hati lagi dengan orang lain, karena dia tahu persis saya sudah milik orang lain.
Lihat, saya egois. Dia sudah mengalah. Lalu kenapa jadi rumit begini?
Ya, karena saya yang turun tangan melibatkan perasaan saya. Padahal saya rasa, sudah saya cegah jauh-jauh hari untuk tidak mengintip dari dalam, sekalipun ia sudah mengetuk dengan kencang.
Ayolah, bagaimanapun tidak ada yang tahu tentang kedepannya, kan?
Begitu pula saya, dia, dan kamu.
Mungkin Desember nanti saya perlu bicara serius dengan dia. Membahas bagaimana dia, dan saya sendiri. Apalah itu perasaan, atau hanya sekedar pelampiasan.
Entahlah, rasanya tetap saja hari ini terasa tidak baik. Selebar apapun itu senyum yang terukir di wajah saya.
Komentar
Posting Komentar